Keluarga, Benteng Utama Anak dari Kekerasan Seksual*
Beberapa minggu terakhir kita
dihebohkan oleh berbagai kejahatan berupa kekerasan seksual yang marak terjadi
di berbagai belahan daerah di Indonesia. Masyarakat tercengang atas kasus yang
Menimpa Yy, pelajar SMP yang diperkosa oleh 14 orang pemuda dan kemudian
dibunuh. Menyusul berbagai kekerasan seksual lainnya yang dialami siswi SD dan
SMP di tempat-tempat lain yang bahkan berujung pada pembunuhan. Tidak
terkecuali di Lampung, kekerasan seksual pada anak juga menimpa sebagian warga
Sang Bumi Ruwa Jurai. Di Kabupaten Lampung Timur saja, pada bulan Mei 2016 saja
telah terjadi 8 kekerasan pada anak (Lampung Post, 17 Mei 2016).
Fenomena yang marak terjadi ini
menyimpan tanda tanya besar bagi masyarakat Indonesia: sebegitu bobroknyakah
perilaku sebagian warga Indonesia saat ini? Apakah kemajuan teknologi menjadi
salah satu pemicunya? Atau sudah tidak relevankah tatanan sosial di bangsa
Indonesia mengatur norma-norma kesusilaan warganya?
Hukuman Yang Ringan
Salah satu faktor yang
berkontribusi besar terhadap maraknya kejahatan seksual terhadap anak adalah betapa
ringannya hukuman para pelaku pemerkosaan dan pencabulan. Pelaku tindak pidana
pemerkosaan di bawah umur di Indonesia umumnya dituntut dengan Pasal 76 D jo
Pasal 81 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang
Perlindungan anak, dengan ancaman hukuman pidana lima belas tahun.
Hukuman yang secara empiris
dijatuhkan oleh hakim di Indonesia rata-rata berkisar 5-10 tahun saja. Hukuman
ini tidaklah sepadan dengan trauma fisik dan psikologis anak yang dapat
menghambat tumbuh kembang mereka dan dapat mempengaruhi kehidupan mereka hingga
mereka dewasa. Hal ini belum ditambah dengan derita kesedihan dan malu yang
harus ditanggung oleh keluarga korban.
Ringannya hukuman ini menunjukkan
bahwa negara kita sebagai negara hukum tidak begitu menganggap bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah
ancaman yang merusak masa depan generasi penerus bangsa. Bandingkan vonis
hukuman ini dengan negara lain yang menganut hukuman kebiri, baik secara fisik
maupun secara kimiawi, bagi pelaku pemerkosa anak, seperti Amerika Serikat,
Polandia, Maldova, Estonia, Israel, Argentina, Australia, Korea Selatan, dan
Rusia. Bahkan negara-negara seperti Arab Saudi dan Iran menerapkan hukuman mati
dengan cara dirajam dan dicambuk.
Tayangan Pornografi di Internet
Salah satu faktor utama yang
berkontribusi dalam maraknya pemerkosaan yang saat ini terjadi adalah
terbukanya katup-katup teknologi informasi, sehingga setiap orang dapat
mengakses konten digital apapun, baik positif maupun negatif, anak-anak maupun
dewasa, dari gawai mereka sendiri. Pada masa beberapa dekade yang lalu,
masyarakat harus pergi ke warung internet atau toko/ penyewaan film untuk
mengakses konten-konten pornografi. Saat ini, mereka dapat melakukannya
kapanpun dan dimanapun, karena konten tersebut sudah tersedia di internet.
Walaupun Kementerian Komunikasi dan Informasi RI telah memblokir ratusan ribu
situs porno, masih ada ratusan ribu situs porno lainnya yang berhasil lolos
dari pemblokiran Kemeninfo RI.
Kondisi ini mengakibatkan hasrat
seksual masyarakat dewasa ini sering tidak terkontrol, karena mereka biasa
dijejali oleh tayangan-tayangan semacam itu dan para pelaku pemerkosaan
membayangkan diri mereka dalam tayangan-tayangan tersebut dengan orang di
sekitar mereka. Orang di sekitar mereka tersebut bisa jadi anggota keluarga,
sanak saudara, atau tetangga mereka sendiri. Ketika harapan dalam angan-angan
mereka tidak mendapatkan respon dari objek yang mereka ajak untuk melakukan
hubungan, maka mereka menjadi kalap dan tidak segan-segan memperkosa korbannya
untuk memenuhi hasrat seksualnya yang diakibatkan dari fantasi berlebihan
tersebut.
Pendidikan hanya sebatas Knowing,
bukan Being
Faktor lain yang
merupakan penyumbang terjadinya banyak kekerasan seksual terhadap anak di
Indonesia adalah kegagalan pendidikan di Indonesia sebagai penjaga moral anak
bangsa. Pelaku pemerkosaan yang sebagian merupakan anak di bawah umur
menyiratkan fakta bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Sebagaimana
disampaikan oleh pakar pendidikan Ayah Edy, pendidikan di Indonesia sarat
dengan muatan, hafalan, dan kemampuan kognitif yang sangat tinggi, sehingga
siswa terbiasa dididik untuk ‘knowing’,
bukan dididik menjadi makhluk ‘being’. Hal ini mengakibatkan siswa Indonesia
hanya ‘sekadar tahu’ bahwa menyeberang adalah di zebra cross, buang sampah
harus pada tempatnya, namun sistem pendidikan tidak begitu kuat untuk membuat
mereka menjadi insan yang taat dan patuh untuk melaksanakannya. Masih banyak
hal yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan kita agar menjadi pembentuk
karakter yang kuat sebagai bangsa yang berakhlak dan bermoral.
Keluarga: Benteng Utama Anak
Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Hertinjung (2009), dari sudut psikologi lingkungan, kekerasan
seksual pada anak disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu ketersediaan ruang
personal dan ketersediaan ruang privacy
anak. Artinya, kekerasan seksual pada
anak mayoritas terjadi pada ranah kalangan keluarga yang memiliki keterbatasan
ruang personal dan ruang privacy pada anak. Sommer (1969) mengatakan bahwa area
personal adalah area dengan batas yang tidak tampak di sekitar tubuh seseorang
dimana orang asing/ orang lain tidak sembarangan masuk. Anak harus diberi ruang
personal yang cukup dengan proteksi orang tuanya, seiring dengan pertumbuhan
dirinya. Artinya, ia berhak memiliki ruang yang cukup dalam berinteraksi dengan
orang lain, bahkan walaupun dengan keluarganya sendiri.
Dalam kaitannya dengan ruang privacy, seorang anak memiliki hak untuk
menyeleksi dengan siapa dan kapan orang lain dapat mengakses interaksi dengan
dirinya. Dua hal pokok ini perlu dilindungi oleh keluarga. Seterbatas apapun
kondisi lingkungan tempat anak tumbuh, hendaklah keluarga memperhatikan
kebutuhan anak terkait dengan ruang personal dan privacy-nya. Selain itu, penting untuk memberikan pendidikan seks
kepada anak sejak dini dalam batas-batas yang dapat diterima oleh mereka
seperti bagian tubuh yang tidak boleh diakses orang lain, daerah dan waktu yang
terlarang untuk anak masuki di luar rumah, kewaspadaan kepada setiap orang yang
tidak dikenal, dan kepada siapa saja mereka boleh bergaul. Selama ini,
pendidikan seks masih tabu di masyarakat Indonesia yang berbudaya timur, sebab
masyarakat berasumsi bahwa hal tersebut adalah pendidikan yang akan diketahui dengan
sendirinya oleh anak (autonomous
education). Padahal, tanpa arahan dan bimbingan orang tua, anak justru akan
kehilangan arah dan tidak mengetahui mana hal yang baik dan tidak baik bagi
dirinya.
Peran keluarga, terutama orang
tua sangat penting untuk memberikan pemahaman yang benar dan memberikan
pendidikan agama yang kuat sejak dini kepada anak agar mereka memiliki akhlak
yang mulia dan proteksi diri untuk menjaga kehormatannya. Mari kita lindungi
keluarga kita dari kejahatan kekerasan seksual yang mengancam anak-anak kita,
sekarang juga. Wallahu a’lamu bishshawab.
Izzul Fatchu Reza, M.P.A.
Staf Pengajar pada
Jurusan Ilmu Administrasi Publik
FISIP Universitas
Lampung
Comments