Administrasi Publik dan Administrasi Negara, Sebuah Perdebatan yang tak Berujung



oleh: Izzul Fatchu Reza
Hasil ringkasan diskusi Dr. Samodra Wibawa, M.Sc.  dengan para mahasiswa M.K.
Matrikulasi  Pengantar Ilmu Kebijakan Publik, 21 September 2012

Saudara Darwis, S.Sos. dalam pertanyaannya menanyakan pendapat Pak Pengajar MK mengenai alasan perubahan nama jurusan Ilmu Administrasi Negara menjadi Manajemen Kebijakan Publik (MKP).

Pak Samodra kemudian menjelaskan dengan gamblang bahwa nama yang tepat untuk disiplin ilmu yang sedang dipelajari ini adalah Ilmu Administrasi Negara, bukan Ilmu Admistrasi Publik, lebih-lebih Manajemen Kebijakan Publik yang justru kurang jelas arahnya.

Argumen ini didasarkan pada kata publik yang pada dasarnya berasal dari bahasa Inggris “public” yang berarti umum, rakyat umum, orang banyak dan rakyat. Nampaknya kata “publik” diterjemahkan oleh beberapa kalangan berbeda-beda sebagaimana kepentingan mereka. Misalnya kata “Public Administration” menjadi “Administrasi Negara”. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah “public” itu sama dengan “Negara”? Apabila “public” sama dengan Negara, maka “Public Administration” sama dengan “State Administration”. Padahal secara konseptual, cakupan “state” lebih luas daripada “Public” (Pasolong, 2007: 6).

Syafi’ie dkk. Mengatakan bahwa public adalah sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan, harapan sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.

Dalam suatu Negara, kita bisa mengibaratkannya sebagai sebuah lingkaran (dikutip dari pendapat Dr. Samodra dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Kebijakan Publik). Lingkaran ini akan kita bagi menjadi dua di bagian tengahnya, membentang dari kiri ke kanan. Pada lingkaran bagian atas, kita buat beberapa simbol yang kemudian akan merepresentasikan lembaga-lembaga yang melaksanakan amanah rakyat dalam menjalankan Negara. Mereka terdiri dari Presiden selaku eksekutif, lembaga pengadilan selaku yudikatif dan DPR selaku lembaga legislatifnya. Lembaga-lembaga tersebut diperkuat dengan lembaga-lembaga lainnya di tingkat tinggi hingga tingkat paling rendah, yaitu kelurahan atau desa beserta perangkat kelembagaannya. Mereka kita sebut dengan pemerintah.

Pada lingkaran bagian setengah kebawah, kita akan membuat simbol-simbol kembali yang mewakili keberadaan masyarakat, yang dapat dibagi menjadi warganegara biasa, lembaga sipil (civil society), dan pihak swasta/ pengusaha (private sector). Mereka inilah yang kemudian kita sebut dengan masyarakat atau publik, yang dalam bahasa Inggris bertuliskan public.

Ilmu Administrasi Negara mempelajari keseluruhan aspek itu, baik itu dalam konteks public itu sendiri, maupun konteks pemerintahan, dan bahkan hubungan antara keduanya, sehingga wajar jika pengertian Administrasi Negara menurut seorang pakar Ilmu Administrasi Negara Dwight Waldo (1971) adalah, ”Manajemen dan organisasi dari manusia-manusia dan peralatannya guna mencapai tujuan pemerintah”. Dalam mencapai tujuan pemerintah ini, tidak hanya pemerintah sendiri yang bertindak, namun seringkali, dalam sebagian pekerjaan, bahkan terkadang sebagian besar bagian dari suatu pekerjaan, dilaksanakan oleh publik itu sendiri. (Pasolong, 2007: 8)

Kompleksitas dan kerumitan Ilmu Administrasi Negara tidak boleh terkungkung dan terkooptasi hanya oleh batasan istilah public yang diberikan ini. Jika memang penerjemahan dari bahasa asing dari kata public adalah publik, maka sebetulnya public yang dimaksud oleh administrasi di Negara Inggris dan Amerika, dua negara tempat asal-muasal ilmu administrasi ini, adalah Negara. Namun, dengan berbagai pertimbangan, mereka memilih untuk menggunakan kata public. Mari kita simak pendapat ahli lainnya berikut ini, yatu H. George Frederickson, yang mendefinisikan konsep publik dalam lima perspektif, yaitu: (1) publik sebagai kelompok kepentingan, yaitu public dapat dilihat sebagai sebuah manifestasi dari interaksi kelompok yang melahirkan kepentingan masyarakat, (2) publik sebagai pemilih yang rasional, yaitu masyarakat terdiri atas individu-individu yang berusaha memenuhi kebutuhan dan kepentingan sendiri, (3) publik sebagai perwakilan kepentingan masyarakat, yaitu kepentingan public diwakili melalui “suara”. (4) Publik sebagai konsumen, yaitu konsumen sebenarnya tidak terdiri dari individu-individu yang tidak berhubungan satu sama lain, namun dalam jumlah yang cukup besar mereka menimbulkan tuntutan pelayanan birokrasi. Karena itu, posisinya juga dianggap sebagai public, dan (5) Publik sebagai warga Negara, yaitu warga Negara dianggap public karena partisipasi masyarakat sebagai keikutsertaan warga Negara dalam seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan dipandang sebagai sesuatu yang paling penting. (Pasolong, 2007: 6)

Perdebatan mengenai pemakaian nomenklatur atau penamaan keilmuan ini selalu tidak menemui titik temu yang berarti. Masing-masing program studi di berbagai universitas swasta dan negeri di Indonesia membuat pilihan namanya masing-masing, ada yang bertahan dengan program Studi Ilmu Administrasi Negara, ada pula yang telah mendapatkan persetujuan dari Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) untuk mengubah namanya menjadi Ilmu Administrasi Publik. Di Universitas Indonesia, namanya tetap bertahan dengan “Ilmu Administrasi Publik”, begitupun dengan Universitas Padjajaran, Universitas Sebelas Maret Solo, Universitas Brawijaya. Namun ada pula yang masih menggunakan nama “Ilmu Administrasi Negara”, seperti Universitas Lampung, Universitas Soedirman, Universitas Sriwidjaya, dan Universitas Hasanuddin. Bahkan di Universitas Gadjah Mada, nama yang dipakai adalah Manajemen Kebijakan Publik, dengan harapan agar nama ini membuat lulusannya lebih marketable ketika terjun ke dunia kerja. Seorang dosen penulis bahkan mengundurkan diri sebagai Ketua Program Studi, karena adanya program perubahan nomenklatur yang bertentangan dengan prinsip dasar dirinya dalam hal pemilihan kata public atau Negara di program studinya tersebut.

 

Menyikapi dinamika permasalahan tersebut, sudah seharusnya kita melakukan kajian-kajian yang mendalam, secara studi literatur maupun studi banding ke universitas-universitas lain di mancanegara mengenai nomenklatur yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Setelah itu, perlu diadakannya suatu forum berkumpul dimana seluruh ilmuwan prodi Ilmu Administrasi Negara ini, dari berbagai asosiasi, seperti ASIAN (Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara), Indonesia Association of Public Administration (IAPA) dan bahkan mengundang Eastern Regional Organization for Public Administration (EROPA) untuk mencari titik temu bagi nama yang tepat bagi program studi Ilmu Administrasi Negara. Sehingga, kedepannya program studi ini lebih bermanfaat, berdaya guna, dan menghasilkan lulusan yang mampu memberikan kontribusi bagi administrasi Negara Indonesia di masa yang akan datang.

 

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Kebijakan Publik

FISIPOL Universitas Gadjah Mada

 

Sumber Referensi:
1.         Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Penerbit ALFABETA.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Perkuliahan Bahasa Inggris Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung

Materi Mata Kuliah Sistem Informasi Sektor Publik